Home » Kesmavet » Aflatoksikosis pada Manusia

Aflatoksikosis pada Manusia

Aflatoksikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh aflatoksin. Aflatoksikosis yang terjadi pada manusia dapat disebabkan karena mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung aflatoksin diantaranya yaitu biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut serta produk olahannya seperti keju, yoghurt dan mentega. Selain itu, aflatoksikosis juga terjadi jika memakan daging, hati dan telur ternak yang memakan pakan yang mengandung aflatoksin serta udang yang mengandung aflatoksin.

AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi diantara keempat jenis aflatoksin (AFB1, AFB2, AFG1, AFG2) karena bersifat karsinogenik, hepatatoksik, mutagenik, tremogenik dan sitotoksik. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan aflatoksin sebagai karsinogenik gol 1A. Selain bersifat hepatotoksik dan mutagenik, aflatoksin juga bersifat immunosupresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Efeknya bersifat kumulatif sehingga tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat. Selain itu, kontaminasi pada makanan tidak mudah terdeteksi kecuali dengan melakukan analisa laboratorium.

Toksisitas dari mikotoksin (aflatoksin) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: 1.) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; 2.) rute pemaparan; 3.) lamanya pemaparan; 4.) spesies; 5.) umur; 6.) jenis kelamin; 7.) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan 8.) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada tumbuhan/bahan pangan.

Aflatoksikosis akut relatif jarang terjadi. Aflatoksikosis akut terjadi jika mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dalam jumlah banyak. Hal menyebabkan terjadinya perlemakan di hati sehingga hati menjadi pucat, gangguan pembekuan darah secara normal menyebabkan terjadinya hemoragi, penurunan total protein serum pada hati, aflatoksin terakumulasi di dalam darah dan menuju ke saluran gastrointestinal, glomerular nefritis, dan kongesti paru-paru serta juga menimbulkan efek mematikan. Aflatoksikosis kronis terjadi ketika mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dalam jumlah sedikit dengan jangka waktu yang lama. Menyebabkan kongesti hati sampai hemoragi dan terbentuk zona nekrosa, proliferasi sel parenkim hati dan sel epitel saluran empedu, kongesti ginjal serta kadang-kadang enteritis hemoragi. Ketika dikonsumsi dalam jumlah rendah mengakibatkan gangguan sistem imun dan menjadi resisten.

Hasil penelitian pada hewan coba mencit dan tikus menunjuk bahwa aflatoksin B1 dapat menginduksi terjadinya karsinogenesis pada hati (karsinoma hati/kangker hati). Pada manusia kontaminasi aflatoksin B1 pada pangan yang dikonsumsi juga menunjukkan efek yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80 dari 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh hati dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi di atas 400 μg/kg.

Aflatoksin B1 berpotensi terjadinya mutasi gen (mutagenik) dimana organ hati menjadi target utama dari toksin ini. Aflatoksin yang masuk dalam sistem metabolisme tubuh memiliki sifat toksik bagi tubuh. Toksin ini akan mengalami proses biotransformasi atau bioaktifasi oleh CYP450 dengan munculnya AFB1-8-9-epoksida yang lebih reaktif dan radikal. Bentuk ini akan berikatan dengan asam dioksinukleat (DNA) menyebabkan terjadinya perubahan dari GC menjadi TA sehingga terjadi mutasi subsekuen di koding gen yaitu di onkogen P53. Aflatoksin yang berikatan dengan DNA menyebabkan terjadinya penghambatan aktifitas polimerase DNA sehingga menginduksi terjadinya mutasi gen.

Menurut penelitian yang dilakukan di Gambian (Afrika Barat), menunjukkan bahwa kontaminasi aflatoksin pada anak-anak akan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan. Selain itu juga kontaminasi aflatoksin pada masa kehamilan dapat memicu terjadinya gangguan perkembangan janin (teratogenik).

Seperti halnya zat racun lain, aflatoksin mengalami proses detoksifikasi yang terjadi di dalam hati untuk dikeluarkan dari tubuh. Sebelum diekskresi zat tersebut akan mengalami proses hidroksilasi dan setelah itu dikonyungasikan dengan glukuronat atau sulfat dalam membentuk zat yang lebih polar sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh melalui saluran pencernaan. Proses ini sejajar dengan proses detoksifikasi dari berbagai zat racun yang memasuki tubuh binatang ataupun manusia. Enzim yang berperan dalam proses hidroksilasi ini ialah “Mixed Function Oxidase” yang bekerjanya memerlukan pertolongan NADPH dan oksigen sebagai donor H dan O. Produk dari aflatoksin yang sudah dikonyugasikan dengan glukuronat ataupun sulfat tersebut kemudian dikeluarkan melalui saluran pencernaan mungkin bersama-sama campuran empedu. Tetapi di dalam pencernaan ada berbagai macam mikroorganisme yang dapat memisahkan glukuronat ataupun sulfat dari aflatoksin sehingga sebagian derifat aflatoksin dapat terserap kembali. Proses penyerapan kembali dan pengeluaran lagi aflatoksin sebagai penyebab kerusakan hati dan karsinoma hati. Selain itu, aflatoksin B1 diaktifkan oleh enzim-enzim mikrosomal hati membentuk suatu hasil metabolisme yang bersifat mutagenik dan mempunyai aktivitas karsinogenik yaitu 2,3-eposida yang merupakan penyebab utama kanker (karsinoma hati).

Jalur penyakit akibat aflatoksin pada manusia

Sumber: Wu and Khlangwiset 2010; Wu et al. 2011

Gambar 1 Jalur penyakit akibat aflatoksin pada manusia

Terdapat korelasi antara tingginya angka insiden kangker hati dengan tingginya resiko paparan kronis terhadap kontaminasi aflatoksin

Sumber: Williams et al. 2004; http://www-dep.iarc.fr/GLOBOCAN_frame.htm

Gambar 2 Terdapat korelasi antara tingginya angka insiden kangker hati dengan tingginya resiko paparan kronis terhadap kontaminasi aflatoksin

 

 

Sumber :

Anonim. 2002. Liver cancer data from the GLOBOCAN 2002 database. http://www-dep.iarc.fr/GLOBOCAN_frame.htm [1 April 2014].

Bedard et al. 2005. Susceptibility to Aflatoxin B1-Induced Carcinogenesis Correlates with Tissue-Specific Differences in DNA Repair Activity in Mouse and in Rat. Cancer Res 65 (4) : 1265-1270.

Handajani NS dan Ratna S. 2006. Identifikasi Jamur dan Deteksi Aflatoksin B1 terhadap Petis Udang Komersial. Biodiversitas 7 (3): 212-215.

Kusumaningtyas E dkk. 2006. Penurunan Residu Aflatoksin B1 dan M1 pada Hati Itik dengan Pemberian Kultur Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 790-795.

Labbe RG dan Garcia S. 2001. Guid to Foodborne Pathogens. New York : Wiley Interscience.

Muhilal. 1999. Hubungan Aflatoxin dengan Carcinoma Hati. Cermin Dunia Kedokteran No. 15.

Noveriza R. 2008. Kontaminasi Cendawan dan Mikotoksin pada Tumbuhan Obat. Perspektif 7 (1) : 35 – 46.

Rachmawati S. 2005. Aflatoksin dalam Pakan Ternak di Indonesia : Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksi-nya. Wartazoa 15 (I ) : 26-37.

Smela ME et al. 2001. The Chemistry and Biology of Aflatoksin B1 : from Mutational Spectrometry to Carsinogenesis. Carsinogenesis 22 (4) : 535-545.

Turner PC et al. 2007. Aflatoxin exposure in utero causes growth faltering in Gambian infants. International Journal of Epidemiology 36:1119–1125.

Williams et al. 2004. Human aflatoxicosis in developing countries. Am J Clin Nutr 80: 1106-1122.

Wu F et al. 2011. The Health economics of aflatoxins: Global burden of disease Aflacontrol Working Paper 4 FebruaryInternational Food Policy Research Institute. 2033 K Street, NW Washington, DC 20006-1002 USA, 1-16.

Wu F, Khlangwiset P. 2010. Health economic impacts and cost-effectiveness of aflatoxin reduction strategies in Africa: Case studies in biocontrol and postharvest interventions. Food Additives & Contaminants 27: 496-509.

About Debby Fadhilah

Keahlian saya dibidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat (penyakit zoonotik) serta dibidang higiene pangan dan keamanan pangan (food safety) terutama pangan asal hewan. Saya juga sebagai Tenaga Ahli untuk pangan di PT. ASRInternasional Indonesia.
x

Check Also

Agen Penyebab Ringworm dan Cara Penularannya

Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh jamur/cendawan yang hidup pada bagian kutan/superfisial atau bagian dari ...

error: Content is protected !!